Dalam arus kehidupan, manusia sering kali
dihadapkan pada suatu masalah yang memaksanya untuk memilih, apakah
menghadapinya dengan penuh ketenangan atau menyingkapinya dengan amarah dan
penuh emosi.
Secara etimologis, kata ‘emosi’ adalah terjemahan
dari bahasa Arab, al-ghadlab. Dalam Alquran, kata al-ghadlab, dengan perubahan
bentuk kata, jumlahnya tak kurang dari 24 kali. Dari sekian banyak ayat
tersebut, kata al-ghadlab lebih banyak dikaitkan kepada Allah sebagai Sang
Khaliq. Hanya sedikit ayat yang mengaitkan al-ghadlab dengan manusia. Itu pun
bukan terhadap manusia biasa, tetapi terhadap Nabi Musa AS. “Dan, tatkala Musa telah kembali kepada
kaumnya, dengan marah dan sedih hati, ia pun berkata, ‘Alangkah buruknya
perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku.’” (QS al-A’raf [7]: 150).
Dalam ayat itu, disebutkan pula bahwa Nabi Musa
sempat menarik rambut saudaranya sendiri, Nabi Harun, kerana sering marah dan
emosinya. Tentang sikap marahnya Nabi Musa, juga dibadikan dalam surah Taha
[20]: 86 dan tentang redanya emosi tersebut juga diabadikan dalam surah
al-A’raf [7]: 154.
Diceritakan dalam sebuah hadis bahwa seorang
sahabat datang tergopoh-gopoh menghadap Nabi SAW untuk meminta nasihat. Nabi
menjawab, “La taghdlab”, hindari sikap marah (emosi). Nabi SAW mengulangi
nasihatnya sebanyak tiga kali.
Hadis ini cukup menjadi bukti bahwa manusia sering
kali terjebak dalam keadaan emosi atau marah yang berpanjangan hingga tidak ada
peluang bagi orang lain untuk meminta maaf. Karena itu, wajar bila Nabi SAW
mengulangi nasihatnya sebanyak tiga kali.
Bagaimana menguasai marah atau mengurus emosi?
Nabi SAW pernah memberikan petunjuk. “Jika kamu marah dalam keadaan berdiri,
duduklah. Jika kamu masih marah, padahal sudah dalam keadaan duduk,
berbaringlah. Jika kamu masih marah, padahal sudah dalam keadaan berbaring,
segera bangkit dan ambil air wudu untuk bersuci dan lakukan shalat sunah dua
rakaat.”
Betapa bijaknya nasihat Rasul SAW di atas. Sebab,
ketika manusia sedang marah, ia mengalami dua hal. Pertama, ketegangan saraf,
terutama saraf otak. Kedua, dirinya sedang bergelut dengan sebuah kekuatan hawa
nafsu yang maha dahsyat. Dalam pandangan agama, hawa nafsu itu di gambarkan dengan kekuatan syaitan.
Maka, ajaran Nabi SAW tentang perubahan gerakan
fizik dari berdiri kepada duduk dan dari duduk kepada berbaring bertujuan untuk
melenturkan dan meredakan (relaksasi) ketegangan saraf otak dan saraf-saraf
lainnya. Jika gerakan fizik juga tidak mampu meredakan emosi, Nabi SAW berpesan
agar segera berwudu dan mendirikan shalat dua rakaat. Tujuannya, segera
berlindung kepada kekuatan Allah untuk mengusir kekuatan syaitan yang
terbungkus dalam bentuk sikap marah dan emosi. Wa Allahu A’lam.
Nota Tambahan *****
Nota Tambahan *****
Marah?
Ada apa dengan marah?
Adakah ia merupakan satu perasaan?
Marah adalah perasaan yang paling dibenci oleh
Allah swt. Perasaan marah ini juga dibenci oleh semua orang. Jikalau anda
seorang yang pemarah, perbanyaklah berzikir mengingati Allah swt. Perbanyakkan
muhasabah diri.
"Jauhilah kemarahan, kerana ia adalah bara
api yang bernyala-nyala dalam hati anak Adam".
Lihat diri
sendiri dan bertanya: adakah anda seorang yang sempurna dari tidak melakukan
kesilapan dan kesalahan dalam kehidupan seharian? Kita semua adalah manusia
yang begitu banyak dosa lagi tidak sempurna.
Oleh itu, Jikalau kita ingin memarahi seseorang,
fikir dahulu sebelum melakukannya.Jika kemarahan itu berterusan, elakanlah ia
dengan mengambil wuduk, membaca Al-quran, beristighfar, berzikir dan berdoa
supaya hati kita sentiasa tenang.
Abu Dzar al-Ghifari berkata: Rasulullah pernah
berkata kepada kami:
"Apabila marah seorang kamu yang sedang
berdiri maka hendaklah ia duduk supaya hilang kemarahannya. Kalau masih belum
juga hilang maka hendaklah ia berbaring".
Always
remember..
Always be positive thinking and positive attitude
insyAllah you will be the greatest of ummah.. InsyAllah :)
No comments:
Post a Comment